JUMRAN AL-BANJARI (STAIN SAMARINDA) Alamat jl danau poso gg 1 No Hp 087810896549

Senin, 10 Oktober 2011

Mendidik Anak Menjadi shaleh dan shalehah


MENDIDIK ANAK MENJADI SHALEH/ SHALEHAH

مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ ، كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاء (رواه البخاري ومسلم)
"Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fithrah/ suci, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak itu menjadi Yahudi atau Nasrani atau menjadi Majusi, sebagaimana seekor binatang dilahirkan dari binatang dalam keadaan sempurna anggota tubuhnya; maka apakah kamu melihat ada yang terpotong telinganya“. (H.R. al-Bukhari dan Muslim) 
Upaya untuk membentuk suatu masyarakat Islam yang dicita-citakan, yaitu masyarakat yang anggotanya shaleh dan shalehah, bertaqwa, cerdas, sehat dan mampu bersaing, harus dimulai dari satuan-satuan keluarga yang unggul. Sedangkan keluarga-keluarga Muslim yang unggul hanya didapat dari pembentukan setiap anak yang unggul pula. Sementara menghasilkan anak yang unggul harus dimulai dengan membentuk jati dirinya sebagai manusia shaleh dan shalehah, bertaqwa, cerdas, sehat dan mampu bersaing secara unggul.
Membentuk anak yang shaleh/ shalehah dapat dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut: 
Pertama, membentuk anak yang shaleh/ shalehah bukanlah menunggunya setelah ia dewasa/ baligh, tetapi harus dilakukan sedini mungkin, semenjak dari dalam kandungan, bahkan sebelum suami istri melakukan hubungan sebadan. Islam mengajarkan, sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra. “Jika salah seorang kamu akan mencampuri istrinya, hendaklah ia berdo’a: “Bismillahi Allahumma jannibna al-syaithan wajannib al-syaithana fima rozaqtana“. (Dengan nama Allah, ya Allah, jauhkanlah syaitan dari kami, dan jauhkanlah syaitan dari rezeki (anak) yang Engkau berikan kepada kami)",  maka sesungguhnya bila ditentukan Allah lahir seorang anak dari keduanya kelak ia tidak akan dicelakakan syeitan selamanya “. H.R. imam yang tujuh.
Kekuatan pernyataan Nabi Muhammad Rasulullah SAW itu intinya adalah pada perbuatan suami istri yang berusaha secara ikhlas menghindar dari perbuatan syetan dan berdo’a kepada Allah dengan memohon agar anak yang akan dilahirkan terlepas dari gangguan dan godaan syetan. Orang-orang yang ikhlas beribadah, syetan tidak mampu menggodanya. Hal ini ditegaskan Allah dalam surah al Hijr ayat 39-40. “Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka (manusia) memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba Engkau yang ikhlash"
Kedua, mengadzankan di telinga si anak ketika lahir sebagai upaya recalling/ mengingatkan kembali atas pengakuannya ketika ia berada di alam rahim (Q.s. al-A’raf, 7:172). Hal ini sekaligus sebagai tahap awal penanaman akidah/ keimanan kepada anak. Mengadzankan juga sebagai pemberian perlindungan kepadanya dari gangguan syeitan. Tangisan bayi yang baru lahir adalah disebabkan pukulan syeitan kepadanya sebagai bentuk gangguan. Dalam sebuah hadis shahih diriwayatkan imam al-Bukhari, Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw. bersabda, “Setiap anak yang baru lahir dipukul oleh syeitan, sehingga ia menangis karena pukulan itu, kecuali Maryam dan putranya“.
Ketiga, mendidik anak dengan menyuruhnya shalat ketika ia berusia tujuh tahun, dan memukulnya jika tidak mengerjakan shalat ketika si anak berusia sepuluh tahun (al-Hadis). Pada usia ini sebaiknya setiap anak laki-laki dikhitan. Memukul anak yang meninggalkan shalat harus tidak diterjemahkan sebagai menyakiti fisiknya, tetapi dalam bentuk hukuman yang harus diberikan kepadanya setiap kali ia meninggalkan shalat, sebagai wujud penanaman aqidah kepada si anak. Hukuman itu bukan pula harus dengan memukul fisiknya, tetapi dapat berupa hukuman-hukuman yang sifatnya mendidik, tidak memberinya uang jajan dan sebagainya. 
Tugas pendidikan ini semestinya lebih banyak dikerjakan oleh ibu, karena waktu yang dimiliki oleh seorang ibu di rumah lebih banyak ketimbang ayah untuk memperhatikan dan membimbing anak-anaknya. Kalaupun kemudian, ibu meniti  karirnya sehingga waktunya lebih terkuras di luar rumah, maka ayahlah yang mengambil peran mendidik dan mengawasi anak (walaupun umumnya seorang ayah dalam mendidik tidak selembut perlakuan seorang ibu.
 Dalam rangka mendidik anak agar menjadi anak unggulan, baik juga diperhatikan ungkapan Dorothy Law Nolte dalam novelnya Children Learn What They Live yang mengatakan: "Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia akan belajar memaki, jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia akan belajar berkelahi, jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia menjadi rendah diri, jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia akan belajar menahan diri, jika anak dibesarkan dengan pujian, ia akan belajar menghargai, jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia akan  belajar bersikap adil, jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia akan belajar menaruh kepercayaan pada orang lain, jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia akan belajar berterima kasih dan bersyukur, dan jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, maka ia akan belajar menemukan cinta dalam kehidupan". 
Memperlakukan anak dengan kasih sayang, sebagaimana diungkapkan Nolte di atas, merupakan kunci untuk menemukan ‘cinta’. Dengan cinta pula akan terjalin hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Jika manusia berhasil menemukan cintanya kepada Yang Maha Pencipta, niscaya akan selamatlah hidupnya. Kasih sayang orang tua, khususnya kasih sayang seorang ibu kepada anak, sangat berpengaruh pada s anak untuk menimbulkan rasa cinta dalam dirinya.
Ungkapan Nolte di atas pada hakikatnya sangat islami. Akan tetapi, dalam kalimat-kalimat Nolte itu harus ditambahkan satu kalimat lagi, sebagaimana yang diajarkan Islam, yaitu: "Jika anak dibesarkan dengan shalat, maka ia akan belajar mengenal Tuhannya". Inilah yang terpenting dari semua yang diungkapkan Nolte.
Jika suami istri sama-sama bekerja dan menghabiskan waktu di luar rumah, sehingga rumah terkadang hanya sekedar tempat singgah, tidak memiliki waktu untuk melihat perkembangan anak, maka hal itu akan berdampak kepada pertumbuhan anak, yang boleh jadi berpengaruh kepada sikap psikisnya. Anak akan kehilangan kasih sayang dan rasa percaya diri. Bahkan anak cendrung agresif dan ofensif.
Islam memberikan perhatian yang besar terhadap perempuan, karena perempuan merupakan pilar utama dalam membentuk keluarga yang harmonis. Sedemikian pentingnya peran perempuan, sehingga al-Quran menyebut kata al-nisa tidak kurang dari 57 kali, sementara kata al-rijal hanya terulang separuhnya saja. Dalam konteks pendidikan anak, benar  sekali yang dikatakan oleh Bernard Weiner (1972), bahwa pendidikan dan sekolah pertama bagi seorang anak adalah ibu. Dari ibulah timbul kekuatan seseorang untuk tumbuh menjadi anak yang berkepribadian.
Keempat, memberikan nafkah kepada anak dengan hasil yang halal dan baik. Seorang ayah sebagai pemimpin rumah tangga bertanggung jawab dalam menafkahi keluarganya. Namun tanggung jawab itu tidak harus memaksakan diri sehingga mengabaikan inti dari hidup berkeluarga. Seorang istri berhak memperoleh belanja yang cukup dari suaminya, yang membutuhi kebutuhan makan, minum, dan pakaian, agar ia dapat melakukan kewajibannya terhadap anak-anaknya dengan baik.  Al-Quran dengan jelas mengatakan:
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (Q.s. al-Thalaq, 65:7)
seorang istri harus mampu dan dengan jeli melihat kondisi suaminya, dengan tidak membebani suami dengan tuntutan-tuntutan yang membahayakan posisi suami. Suami juga harus dapat melihat situasi yang dialami istri. Dalam hal ini Allah berfirman,
“…Janganlah seorang ibu terbebani karena anaknya, dan janganlah seorang ayah terbebani karena anaknya”. Q.s. Al Baqarah, 2:.233.
Penegasan ayat ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kezaliman antara suami istri karena tanggung jawab yang terlalu dipaksakan dalam mengurus anak, dan agar masing-masing suami isteri memenuhi haknya dengan baik. Seorang istri tidak boleh membangkang dengan tidak mengurus dan mengabaikan pendidikan anak-anaknya karena alasan ketidak cukupan pemberian suami. Suami juga jangan mempersulit istrinya dengan memberi nafkah yang tidak mencukupi dalam mengasuh anak-anaknya. Karena itu, keduanya harus saling membantu dan menutupi kekurangan masing-masing.
Hal-hal lain yang sangat perlu diperhatikan orang tua dalam mendidik anak ialah: mengajarkan sikap bersyukur atas nikmat Allah. Walaupun diberi sedikit selalu melafalkan “Alhamdulillah”, jangan mencela/ memaki anak, berbuat baik/ berbakti pada orang tua, mengajarkan kejujuran, melatih anak untuk sabar dalam menghadapi musibah/ cobaan,  mengajari anak agar tidak sombong, mengajari anak tentang kesederhanaan, melunakkan suara pada saat berbicara pada anak, selalu memudahkan dan menggembirakan hati anak, jangan menakut-nakutinya, memilih waktu yang tepat dalam menasehati anak, melatih anak memecahkan masalah dengan bermusyawarah, jangan memaksakan pendapat dan keinginan secara subjektif untuk pilihan masa depan anak, karena pilihan orang tua belum tentu sesuai dengan bakat dan minat anak. Hal yang terpentin dan jangan pernah diabaikan ialah, senantiasa berdoa kepada Allah untuk keberhasilan dan keselamatan anak, baik di dunia maupun di akhirat. Wa Allahu a`lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makalah Dakwah Semester I

muammar

Template by:
Free Blog Templates